kreatif pada tempatnya;

Sesederhana Kejadian


Pagi itu kami sedang asik mengobrol di Kosan. Asik membicarakan wanita tercantik di kampus, mengomentari gaya baru rambut seorang dosen, hingga serius berbicara tentang politik Bandung. Aku berdua dengan temanku, kami selalu begini setiap hari. Ditemani kacang dan secangkir teh hangat. Namun, pagi ini berbeda.

"Bakar, bakar! telanjangi! telanjangi!"

Sayup-sayup aku dengar teriakan, tak jauh dari kosan. Kami terdiam sebentar. Aku mencoba mencerna sayupan tadi.

"Maaliiinnggg ketangkaaap!"

Seorang bocah menjawab pertanyaan tersembunyiku, ia teriak-teriak sambil berlari di gang kosanku. Aku dan sahabatku beranjak dengan cepat dari ranjang. Lupa sudah apa yang kami bicarakan tadi, nampaknya ini lebih seru daripada membicarakan Gita, wanita yang setiap hari jadi bahan obrolan kami.

Dengan sendal dan muka yang belum dicuci, aku berlari kecil menyusuri gang. Gang  yang selalu sempit, tidak cukup dua motor. Tapi aku suka lekukan-lekukannya, seperti labirin yang memacu otak. Nasib anak kos yang tidak punya budget besar, pasti menyewa di ujung kampung seperti ini. 

Sedikit tersengal karena jarang olahraga, aku melihat warga telah berkerumun di dekat kios handphone milik Kang Suaib. Aku bergegas mencari tahu. Kuterobos kerumunan itu dengan paksa, orang-orang melirikku dengan lirikan tak suka, merasa 'antrian'nya diselak. Sesak sekali, tapi tetap kucoba menerobos.

Aha itu dia! Sekarang aku tahu siapa sumber keramaian pagi ini. Aku coba meyakinkan kejadian di depanku. Kutelan ludah satu-satu. Tiba-tiba, rasa jijik menjalar dalam tubuh ini, ya! aku melihat seorang bapak kisaran 45 tahun dalam posisi melingkar, berusaha menutupi tubuhnya yang telanjang, lebih tepatnya ditelanjangi. Pakaiannya dilucuti, ada di sampingnya. "Bakar, bakar!". Sorak sorai itu masih terdengar sahutannya. Beberapa orang berkesempatan menendang tubuh dan kepala bapak itu. Beberapa bagian tubuhnya memar dan kepalanya sedikit berdarah, bercampurlah uban yang memutih dan darah merah segar. Untung saja, sudah ada aparat di sana. Kondisi brutal dapat diminamilisir. Aku pusing melihat darah.

Aku yang tak kuat melihat darah langsung berusaha keluar. Aku menyesal, kenapa tadi memaksa menerobos, sekarang di kepalaku tergambar bapak 45 tahunan tadi. Mual dan Jijik. Aku belum tahu, sebenarnya apa yang bapak itu lakukan hingga hukum warga terealisasi pagi ini. Apakah dia Maling? seperti teriakan bocah yang tadi melewati kosku?

"Pak, itu maling ya? maling apa Pak?"
"Nyuri handphone dek, ketahuan."

Pagi itu, rasa kasihan ditelanjangi kalah oleh rasa puas: mengenai kejahatan yang dapat ganjarannya."Rasakan! makanya cari uang yang halal!", kataku dalam hati, menyerapahi bapak 45 tahunan itu.

***
Bandung. Dalam gang sempit, tetap di kosan daerah Tubagus Ismail.

Aku sendirian di kosan, sahabatku pulang mendadak ke Jakarta kemarin, orang tuanya sakit. Aku merenung pagi ini, bukan merenungi Gita, bukan merenungi rambut dosen ataupun politik Bandung. Aku merenungi kejadian 3 hari yang lalu, bapak 45 tahunan itu. Entah aku harus marah ke siapa. Di kampus kemarin, bapak 45 tahunan itu dibicarakan, ternyata Ruth adalah tetangga dari bapak itu. kabar terakhir, bapak 45 tahunan itu kini mendekam di penjara.

"Bapak Kasim itu orang baik. Sangat baik bahkan. Sangat sederhana, kerjaannya sebagai tukang reparasi jam jalanan. Ia amat pendiam. Makanya aku kaget pas tahu dia mencuri handphone, kok bisa ya...", Ruth menghela nafas, nampaknya ia masih belum percaya kejadian itu.

"Maling tetap maling menurutku Ruth. Bisa jadi selama ini hanya kamuflasenya? Lalu Ruth, kamu tahu kenapa bisa begitu?", tanyaku yang diawali opini tajam. Mata Ruth sedikit berkaca.

"Kamu nggak tau Rey, jangan asal menjudge dia. Aku tahu kenapa dia melakukan itu...", Ruth menggigit bibirnya.
Aku diam. Aku membiarkan Ruth melanjutkan ceritanya.
"Pak Kasim punya anak perempuan, masih SD... ia sayang sekali dengan anaknya. Tapi entah kenapa semingguan anak itu mendiamkan Pak Kasim, setelah dicari tahu ternyata anaknya ingin handphone seperti teman-teman di sekolahnya. Namun, Pak Kasim tidak punya cukup uang. Pendapatannya dari mereparasi jam berapa sih? ia merasa bersalah dan tidak mau didiamkan terlalu lama oleh anaknya.. dan akhirnya ia terpaksa mencuri handphone itu... aku juga nggak mengerti kenapa Pak Kasim melakukan hal itu...", Mata Ruth makin berkaca-kaca. 

Aku terdiam. Salah tingkah. Setetes dua tetes air mata Ruth menyilangi pipinya. Kurogoh tasku dengan buru-buru, mencari tisu yang belum habis dari seminggu lalu. 

"Bubuuuurrr!", terdengar teriakan abang bubur yang setiap pagi menawarkan dagangannya. 

Lamunanku kemarin bersama Ruth buyar. Pembicaraan kemarin membuat aku jijik terhadap diriku sendiri, tentang pembenaranku atas: 'kejahatan yang dapat ganjarannya'. Aku tahu Pak Kasim salah, tapi aku tahu bahwa Pak Kasim tidak sepenuhnya salah. Entah aku harus marah ke siapa? ke pemerintah? ke Pak Kasim? ke warga? ke anak perempuan Pak Kasim?

Pagi ini aku mengurai benang semrawut ini. Aku jadi marah terhadap anak Pak Kasim, mengapa ia mendiamkan bapaknya? mengapa ia tidak tahu kondisi keluarganya? walau aku tahu ia masih kecil dan belum mampu memahami sejauh itu dan itu hal yang wajar, iri terhadap apa yang dipunya temannya. Tapi, aku juga marah terhadap Pak Kasim! mengapa ia melakukan sesuatu yang seharusnya tidak perlu dilakukan? ia terlalu berlebihan! apakah rasa cinta juga gelisah didiamkan anaknya membuat logikanya buta?

Mengapa harus terjadi? Apakah ini hanya sesederhana permasalahan komunikasi? Pak Kasim dan anaknya tidak berkomunikasi selayaknya anak dan bapak yang saling mencintai dalam kekurangan? lalu akan saling memahami? apakah ini sesederhana itu? atau lebih kompleks dari itu seperti laporan keuangan negara? 

...................

Pagi itu, sendu.
Tetap di kosan gang sempit ini.
Melanjutkan kebingungan, dalam memahami lika-liku hidup.


Nb: tulisan ini terinspirasi dari obrolan dengan Fahd Djibran semalam di Creative Space, D!YOURS HCD. Berdasarkan kisah nyata yang dialami Fahd Djibran.

Depok, 14 Maret 2013
Muhammad Maula Nurudin Alhaq

Read More

Pembenaran Passion



"Kak, lebih baik mengerjakan apa yang kita cintai atau berusaha mencintai apa yang kita kerjakan saat ini? Saya sedang dilema hal tersebut..."

Pertanyaan ini pernah ditanyakan oleh salah satu peserta di saat saya mengisi sebuah acara dengan tema "Passion: kuliah, bisnis, organisasi, dan dakwah". Saya mengerti maksud pertanyaannya berangkat dari mana, karena saya dulu pernah merasakan kebingungan tersebut dan timbul pertanyaan filosofis seperti itu.

Pertanyaan filosofis sebenarnya harus dijawab dengan paparan realitas dahulu, karena kadang yang bertanya ingin mencari pembenaran. Harus hati-hati dalam menjawabnya, apalagi kita mengerti kenapa dia bertanya seperti itu. Kalau saya jawab dengan jawaban filosofis yang berbunga-bunga, pasti dia akan senang, namun dia akan gamang dalam kondisi realitasnya yang padahal harus tetap dijalani.

Akhirnya saya jawab saja:
"Kamu nanya hal itu karena apa? kalau karena ada pekerjaan yang kamu nggak suka sekarang tapi kamu diwajibkan di situ, maka saya salah kalau menjawab "Kerjakan apa yang kamu cintai", walau saya daritadi membahas tentang passion yaitu apa yang kamu cintai, kerjakanlah... pasti kalau saya jawab itu, hati kamu senang dan ada alasan untuk mulai meninggalkan kerjaan yang sekarang, tapi itu bukan jawaban yang tepat, bisajadi nanti kamu ogah-ogahan di kerjaan yang nggak kamu sukai sekarang dan etos kerja kamu jadi turun. Pertanyaan kamu itu filosofis, jawabannya bisa bercabang. Tapi kamu harus berpijak dulu dengan kehidupan nyata: bahwa ketika kita hidup pasti selalu ada suka dan duka, ada yang kamu senangi ada yang kamu benci. Itulah proses kehidupan. Kamu pasti dalam hidup gak selamanya kan bahagia terus, seringkali sedih. Seringkali kamu nggak mendapat apa yang kamu inginkan. Nah, kamu harus sadar dulu di pemahaman awal ini, di kehidupan selalu ada dua sisi yang berlaku. Perihal kamu sekarang mempunyai kewajiban yang bisajadi kamu nggak sukai saat ini, itu harus kamu tuntaskan sampai masa amanah yang disepakati: anggaplah inilah bagian duka yang memang harus kamu jalani. Lalu, masih ada waktu kan untuk hal lain yang kamu senangi? nggak 24 jam kamu mengurus kewajiban tersebut? manfaatkan waktu-waktu itu. Perihal cape, sudah lelah, tidak mood lagi, ya kamu harus sadar, ketika kamu sudah dipercayakan di amanah tersebut maka kamu sudah berbeda dengan kamu yang dulu, pasti ada sisi kehidupan yang berubah drastis, maka resiko itu harus kamu bayar dengan mengurangi waktu tidur, mengurangi hal-hal yang nggak berguna, mengurangi ngumpul-ngumpul nggak jelas, dll. Dan, percayalah, yang menurut kamu beban saat ini sebenarnya sangat berharga nantinya, perjalanan waktu yang akan memberikan kamu jawaban dan pemahaman itu, maka jalani dengan sabar. Jadi, hiduplah dengan pemahaman dasar tentang hidup yang ada suka dan dukanya, dua-duanya pasti akan kamu temui. Lalu, pertanyaan-pertanyaan filosofis yang muncul seperti yang kamu tanyakan tadi jawablah dengan pemahaman dasar itu, hingga suatu saat kamu dapat menjawab sendiri pertanyaan itu dengan jawaban filosofis pula lewat pengalaman batin yang sudah kamu jalani. Ya... ini memang masalah waktu. Passion itu menemukannya harus banyak membuka pintu... pintu suka dan duka, harus kamu buka satu-satu... sampai ketemu kliknya, dan akan muncul pemahaman bahwa tidak ada yang sia-sia semua suka dan duka yang telah terlewati, semuanya terkoneksi dan jawabannya ada di masa depan, maka jalanilah. Sama seperti Steve Jobs, dia pernah belajar Kaligrafi, dan ilmu itulah yang mempunyai pengaruh besar pada produk-produk Apple. Ya, intinya: Jangan Manja. Kehidupan kampus tidak semengerikan kehidupan nyata di luar sana, maka, berlatihlah dulu untuk ditempa. Biar nanti jadi tanah liat yang bagus."



Depok, 11 Maret 2013
Muhammad Maula Nurudin Alhaq
t: @maulaozier ( https://twitter.com/maulaozier ) 
b: http://pekerjakreatif.blogspot.com/
Read More

Pengusaha Vs Pedagang


Diingat-ingat, ternyata saya berwirausaha sudah cukup lama juga, semenjak SD! Bisnis perdananya membuat rumah hantu di dalam rumah dan pelanggannya adalah anak-anak kecil di sekitar rumah, lumayan pendapatannya, satu bocah dikenakan 500 rupiah sekali masuk. Hingga akhirnya menjalarlah saya coba-coba berbagai peluang bisnis, dari jual minyak wangi di masjid sampai kini menangani beberapa proyek lumayan besar (ehem).

Oke, di tulisan ini sebenernya saya mau bahas mengenai perbedaan pedagang dan pengusaha. Memang beda ya? tergantung sih. Mungkin ini hanyalah perbedaan definisi atau menyangkut terminologinya. Namun, di tulisan ini, saya akan mengambil sudut pandang bahwa pedagang dan pengusaha mempunyai arti yang berbeda.

Kini, saya dapat mendefinisikan bahwa apa yang saya kerjakan saat SD dulu (-membuat rumah hantu) termasuk definisi pedagang. Saya menjual sesuatu, lalu dapat uang. Tidak ada sistem yang rumit, sesimpel menawarkan jasa hiburan dan ditukarkan dengan uang. Tentunya saat itu saya bukanlah pedagang yang sukses, karena bisnis itu tidak sustain, dulu hanya ingin mewujudkan imajinasi dan dapat uang saku berlebih, visinya sebatas itu. Akan berbeda artinya dengan pedagang yang sukses, ia dapat menjual produk secara kontinu. Contoh, ada teman saya yang punya online shop dan setiap bulan produknya laku; kontinu.

Saya pun pernah jadi pedagang; jualan minyak wangi, jualan kaset murottal, jualan burger, jualan laptop, jualan baju, dan banyak produk yang sudah saya jual. Ya, ada juga produk yang saya jual hingga menembus omset ratusan juta saat kuliah D3 dulu, tapi sekarang saya tahu, dulu saya adalah pedagang.

"Lalu, apa arti pengusaha bagi lu mol?"

Perubahan paradigma ini bermula ketika saya mengalami masa-masa sulit dalam berbisnis (baca: mengejar impian), itu sekitar tahun 2011. Saat itu seperti ada dinding besar di depan yang tak bisa dilewati. Entah kenapa, rasa-rasanya saat itu saya sudah menyerah dan merasakan impian yang dibangun hampir puluhan tahun hancur di hari itu. Padahal, semangat selalu ada, keyakinan untuk maju selalu ada, tekad tahan banting juga sudah diperjuangkan. Saya benar-benar bingung.

Akhirnya, jawaban itu saya dapatkan saat melanjutkan kuliah. Saya ternyata mengalami lack of knowledge. Di mana ketika seseorang seharusnya sudah berada di tahapan X, namun ia tidak bisa ke sana karena belum adanya pengetahuan untuk ke sana. Diam di tempat, atau lari-lari di tempat saja. Sedangkan visi kita sudah mencapai tahap Z, ini membuat diri menjadi stress sendiri. Bisnis yang bertepuk sebelah tangan.

Nah, saat melanjutkan kuliah di sekolah bisnis dan manajemen, saya mempelajari ilmu-ilmu fundamental dalam bisnis: Akuntansi, Keuangan, Manajemen SDM, Manajemen Operasi, Manajamen Pemasaran, dll. Benar-benar ilmu. Dan ilmu-ilmu itu jika tidak dipahami maka bisnis kita akan berjalan di situ-situ saja. Istilah teman saya, "Ilmu-ilmu yang sekarang lo pelajari itu jujur mol, mereka ilmu yang jujur dan wise, ketika lo gak menguasai mereka.. ya lo dan bisnis lo nggak bakal kemana-mana.. gue belajar gituan 4 tahun, bener-bener ilmu, bukan kulitnya.. bukan semangat-semangat doang..". Tercerahkanlah saya, jawaban yang dicari akhirnya ketemu. Beban-beban berat di pikiran dan di hati terasa mencair perlahan, tidak beku lagi. Ya, saya melihat visi yang tadinya sudah menggelap kini terang kembali.

Dari sinilah, saya akhirnya membedakan antara pedagang dan pengusaha. Pedagang itu seperti saya dulu, menjual banyak produk, dapat uang, dan terus berdagang entah sampai kapan. Sistemnya pun simpel. Saya ngerti keuangan dikit-dikit (tapi kalau dilihat dengan kacamata ilmu yang jujur tadi sangat memprihatinkan sebenarnya, ini pun dengan ilmu sotoy.. hehe..), diri juga merasa pasti bisa dengan ilmu dan semangat yang ada, pun merasa karena banyak kenalan pengusaha di luar sana pasti juga akan seperti mereka..

Akhirnya saya mulai memahami, mengapa orang-orang kaya makin kaya dan jumlah mereka sedikit. Mengapa banyak orang bisnisnya kok tidak cuma satu, dari bisnis makanan lari ke properti, investasi, dll. Mengapa harus belajar ini-itu lagi, padahal pendapatan perbulan dari jualan produk sudah lumayan kok. Saya jadi teringat kata-kata ini, "Istilah keuangan itu dibuat sulit, karena keuangan memegang peran paling fundamental dalam bisnis, dibuat sulit agar banyak orang malas mendekatinya dan yang ahli hanya sedikit.. yang sedikit itulah yang akan menguasai ekonomi dunia!". Ya, bahkan kalau pendekatannya dengan teori konspirasipun kita bisa mengerti, ilmu ini sengaja dibuat 'mengerikan' agar dijauhi, maka banyak yang mengalami 'lack of knowledge', lebih parahnya: tidak menyadarinya.

Oke, mungkin kita bahas yang lebih 'mikro'nya aja.. simpelnya kita permudah pemahaman perbedaan antara pedagang VS pengusaha ini dengan analogi.

Tahu pedagang bakso? ada kan kita kenal abang tukang bakso yang sudah jualan baksonya selama puluhan tahun masih begitu-begitu saja? masih memakai gerobak yang itu-itu saja dengan warna yang sama? dengan topinya yang sama? dengan tempat mangkalnya yang sama? Ya, saya menyebutnya pedagang.

Tapi pernah lihat juga kan seseorang yang mempunyai berbagai cabang restoran bakso? dulu hanya pedagang bakso, tapi setahun kemudian punya restoran bakso, dua tahun kemudian bukalah cabang di mana-mana, tahun berikutnya ia melakukan diversifikasi asset ke properti, emas, saham, dll. Nah, itulah yang saya maksudkan sebagai pengusaha.

Mengapa bisa berbeda? sampai saat ini jawaban yang saya temukan adalah karena perbedaan knowledgedi antara mereka. Semangat, keyakinan, dan tekad saya yakin antara pedagang bakso dan pengusaha bakso keduanya sama.

Jelas jawabannya semua orang juga tahu: "Knowledge, iya knowledge! gue juga tahu kalau itumah! Nggak usah dikasihtauin!". Tapi, walau sudah tahu banyak yang nggak sadar bahwa dirinya mengalami lack of knowledge. Dia merasa mengerti ilmu akuntansi, keuangan, manajemen, dll lewat seminar motivasi atau buku-buku saja. Tidak, tidak setipis itu ilmu untuk benar-benar jadi pengusaha.

Ya, saya setuju selain knowledge, kalau mau jadi pengusaha mentallah yang harus dibentuk atau jaringan yang harus makin diperluas, memang itu yang utama (berhubung saya juga dulu basicnya desain grafis jadi asing dan gak mau deket-deket sama istilah ekonomi yang bikin pusing). Tapi saya di sini coba menyampaikan dengan melihat dari sisi lain yang dirasa juga penting, agar apa yang saya alami saat dulu dapat dihindari dan lebih cepat sadar bahwa diri telah mengalami yang namanya: lack of knowledge.

Sebenarnya jujur, saya miris juga dengan diri saya dulu yang mungkin saat itu sudah mengalami gejala megalomania, "Ngapain gue belajar ekonomi, keuangan, dan hal-hal ribet lainnya bertahun-tahun... ikut seminar aja, atau tanya-tanya temen yang jurusan situ aja.. ntar juga ngerti sendiri kok... lulusan SD aja banyak yang sukses.. Steve Jobs aja D.O..". Ah, alasan yang sangat sesat pikir. Yasudahlah, semoga ini semua menjadi pelajaran. 

Lalu, pertanyaan terakhir... saat ini... kamu termasuk apa? pedagang atau pengusaha?

Depok, 14 Februari 2013
Muhammad Maula Nurudin Alhaq
t: @maulaozier (https://twitter.com/maulaozier) 
b: http://pekerjakreatif.blogspot.com/

Read More

© 2011 Pekerja Kreatif, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena